Selasa, 22 Juni 2010

ANALISIS PUISI DALAM SEBUAH PERBANDINGAN PUISI “SAJAK “ KARYA SANUSI PANE DENGAN PUISI “ BUKAN BETA BIJAK BERPERI “ KARYA RUSTAM EFFENDI

Bukan Beta Bijak Berperi

Rustam Effendi

Bukan beta bijak berperi

Pandai mengubah madahan syair

Bukan beta budak negeri

Musti menurut undangan mair

Syarat sarat saya mungkiri

Untai rangkaian seloka lama

Beta buang beta singkiri

Sebab laguku menurut sukma

Susah sungguh saya sampaikan

Degup-degupan di dalam kalu

Lemah laun lagu dengungan

Matnya digamat rasain waktu

Sering saya susah sesaat

Sebab madahan tidak nak datang

Sering saya sulit mendekat

Sebab terkurung lukisan memang

Bukan beta bijak berlagu

Dapat melemah bingkaian pantun

Bukan beta berbuat baru

Hanya mendengar bisikan alun

Hasil Analisis Puisi Bukan Beta Bijak Berperi

a. Tipografi

Puisi merupakan bentuk pengucapan atau pengungkapan pikiran / perasaan dengan bahasa yang istimewa. Menggunakan bahasa sesedikit mungkin, tetapi mempunyai arti sebanyak mungkin. Hal inilah yang kiranya telah dicapai oleh Rustam Effendi. Dengan kata – kata yang padat ia mampu menyampaikan maksud pikirannya, yakni tentang kemerdekaan.

Tipografi adalah penyusunan baris dan baitnya. Aspek visual puisi merupakan hal yang penting diantaranya meliputi susunan kata, frase, baris, dan bait. Dalam menulis puisi ini rustam effendi menggunakan jenis tipografi yang teratur . karena penulis memperhatikan sususnan puisinya dan penulisan kata demi kata dibuat wajar seperti puisi kebanyakan. Bisa kita lihat contohnya :

Bukan beta bijak berperi

Pandai mengubah madahan syair

Bukan beta budak negeri

Musti menurut undangan mair

Ini jelas berbeda dengan puisi “ Tragedi Sinka dan Winka yang penyusunanya secara zig zag .

b.Kata dan diksi

Ø Kata dipandang memiliki bunyi dan arti tertentu. Dalam bahasa sehari-hari kata merupakan sesuatu yang otomatis dan familiar. Tapi dalam puisi kata mengalami deotomisasi dan defamiliar,, tidak selalu mudah dipahami.

Ø Diksi dilakukan melalui pemilihan kata bermakna konotasi,

Bukan Beta Bijak Berperi’ ini memaparkan secara singkat mengenai adanya keunikan pada penyimpangan konvensi puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” karya Rustam Effendi atas peraturan yang sudah ada. Keunikan itu dapat terlihat dari berbagai hal mulai dari bentuk visual hingga perioditasnya. Adapun keunikan lainnya ialah dalam bentukan puisi baru yang tercipta itu ternyata tidak sepenuhnya terjadi perubahan total, masih ada sedikit kegayutan dengan konvensi yang sudah ada.

Puisi merupakan bentuk pengucapan atau pengungkapan pikiran / perasaan dengan bahasa yang istimewa. Menggunakan bahasa sesedikit mungkin, tetapi mempunyai arti sebanyak mungkin. Hal inilah yang kiranya telah dicapai oleh Rustam Effendi dalam puisinya “Bukan Beta Bijak Berperi”. Dengan kata – kata yang padat ia mampu menyampaikan maksud pikirannya, yakni tentang kemerdekaan.

Rustam effendi melalui puisinya” bukan bet abijak berperi “ meggunakan pilihan kata yang muidah dipahami berbeda dengan pengarang-pengarang sebelumnya yang menggunakan kata-kata yang sukar dipahami oleh orang awam. Disini rustam effendi termasuk dalam angkatan pujangga baru sehingga lebih dinamis . kata katanya pun menggunakan kata –kata pilihan yang sebelumnya tentunya sudah melalui pemilihan kata –kata yang tepat sehinng menghasilkan puisi yang indah. Untaian kata yang indah dapat kita lihat pada bait berikut :

Bukan beta bijak berperi

Pandai mengubah madahan syair

Bukan beta budak negeri

Musti menurut undangan mair

Pada bait ini dapat kita lihat tentang bagaimana penulis mengibaratkan dirinya bukanlah orang hebat yang mampu mengubah konvensi syair yang telah ada. Iapun bukan budak di negeri sendiri yang selalu harus menurut dan tunduk pada segala peraturan orang asing, yang secara langsung maupun tidak telah menjajah negerinya.

c. Bahasa Kiasan dan Bahasa Retorik

· Adalah penggantian arti dalam puisi untuk memperoleh efek tertentu:

Dalam puisi ini dapat saya jumpai berbagai bahasa kiasan yang digunakan misalkan untuk menyebut diri penulis , menggunakan istilah (beta) selain itu dapat kita jumpai berbagai majas ( gaya bahasa ) yang digunakan pengarang untuk memperindah puisinya.:

Ø Majas personifikasi

Musti menurut undangan mair

Sebab laguku menurut sukma

Sebab terkurung lukisan memang

Hanya mendengar bisikan alun

Ø Majas metafora

Bukan beta bijak berperi

Bukan beta budak negeri

Beta buang beta singkiri

Sebab laguku menurut sukma

Dapat melemah bingkaian pantun

d. Rima dan Persajakan

Bentuk puisi di atas berupa puisi yang berselang – seling, baik jumlah kata maupun suku katanya. Akan tetapi, jumlah suku kata beserta irama dan pola persajakannya masih mudah mengingatkan kita pada bentuk pantun dan syair, dua bentuk yang justru hendak dibuang dan dihindari oleh penyair.

Penyimpangan konvensi itu nampak pada puisi di atas. Menurut bentuknya, sajak “Bukan Beta Bijak Berperi” itu adalah syair, sebab kelima bait berisi pernyataan yang bersambungan. Namun, sajak dalam puisi itu berpola a b a b, bukan a a a a. Sehingga, pola sajak yang tercipta akhirnya adalah pola sajak pantun. Isi sajak itu berupa pernyataan perasaan pribadi, pernyataan perasaan dan pikiran si aku. Hal seperti ini tidak dikenal dalam puisi Melayu. Akan tetapi, pola – pola bentuk yang teratur, periodisitas sajak Rustam Effendi itu sesungguhnya masih merupakan konvensi sajak Melayu atau tradisi dajak Melayu : tiap baris terdiri atas dua periodus, tiap periodus terdiri atas dua kata.

Dalam sajak itu korespondensi berupa pembaitan, tiap bait terdiri dari 4 baris dan tiap baris terdiri dari dua satuan sintaksis (kelompok kata atau gatra) dari bait pertama sampai bait terakhir. Korespondensi dari awal bait, baris pertama sampai ke akhir bait,baris terakhir : susunannya serupa.

Dalam puisi ini kita juga menjumpai adanmya asonansi dan aliterasi , misalnya :

Bukan beta bijak berperi

Bukan beta budak negeri

Syarat sarat saya mungkiri

Susah sungguh saya sampaikan

Lemah laun lagu dengungan

Sering saya susah sesaat

Sering saya sulit mendekat

Bukan beta bijak berlagu

Bukan beta berbuat baru

e. Imaji

Mungkin citraan yang muncul adalah citraan yang berhubungan dengan

perasaan

Lemah laun lagu dengungan

Sebab laguku menurut sukma

Pendengaran

Lemah laun lagu dengungan

Hanya mendengar bisikan alun

f. Tema dan Amanat

· Tema : menurut saya tema yang diangkat pengarang adalah kemerdekaan dalam berekspresi dan mengeluarkan pendapat tanpa ada aturan yang mengikat .

· Amanat : dalam puisi ini pengarang ingin menyampaikan bahwa kita itu sebagai manusia hendaknaya bersikap merdeka dan berani unutuk mengubah sesuatu, aturan yang mengekang bukanlah halangan tetapi harus merupakan suatu cobaan yang harus dihadapi . pengarang lewat puisinya juga pegen mengemban unsur kebebasan yang hakiki. Dia ingin merubah dunia meskipun banyak rintangan yang menghadang.

g.Makna Puisi

Makna bait ke -1

Ia merasa bahwa ia bukanlah orang hebat yang mampu mengubah konvensi syair yang telah ada. Iapun bukan budak di negeri sendiri yang selalu harus menurut dan tunduk pada segala peraturan orang asing, yang secara langsung maupun tidak telah menjajah negerinya.

Makna bait ke -2

Ia hanya merubah sedikit rangkaian seloka lama dengan sentuhan baru tanpa meninggalkan konvensi yang sudah ada. Ia mencoba memberontak konvensi puisi lama itu dengan menyingkirkan beberapa ketentuan – ketentuan dan menyusun karya baru sesuai kata hati serta keinginannya.

Makna bait ke -3

Terkadang ia merasa kesulitan untuk menyampaikan apa yang ada dalam hati dan pikirannya. Ia hanya bisa menunggu waktu yang tepat.

Makna bait ke -4

Kadang ia merasa susah atau sedih karena kemudahan tidak juga datang. Kadang ia juga kesulitan untuk memberontak karena terikatnya ia dengan peraturan yang tidak jelas faedahnya.

Makna bait ke -5

Ia mengakui bahwa dirinya bukanlah orang yang pandai melagukan pantun. Iapun mengakui bahwa ia sebenarnya tidak membuat sesuatu yang baru, melainkan hanya mendengarkan bisikan dari dirinya sendiri dan orang – orang sekitarnya yang ingin membebaskan diri dari keterbelengguan segala hal (penjajah, konvensi dalam membuat puisi, dsb.).

A. Analisis Puisi “ sajak “

SAJAK

Sanusi Pane

O, bukanlah dalam kata yang rancak

Kata yang pelik kebagusan sajak

O pujangga buanglah segala kata

Yang kan mempermainkan mata

Dan hanya dibaca sepintas lalu

Karena tak keluar dari sukma

Seperti matahari mencintai bumi

Memberi sinar selama-lamanya

Tidak meminta sesuatu kembali

Harus cintamu senantiasa

Hasil Analisis

a. Tipografi

Tipografi adalah penyusunan baris dan baitnya. Aspek visual puisi merupakan hal yang penting diantaranya meliputi susunan kata, frase, baris, dan bait. Dalam menulis puisi ini sanusi pane menggunakan jenis tipografi yang teratur . karena penulis memperhatikan sususnan puisinya dan penulisan kata demi kata dibuat wajar seperti puisi kebanyakan. Bisa kita lihat contohnya :

Seperti matahari mencintai bumi

Memberi sinar selama-lamanya

Tidak meminta sesuatu kembali

Harus cintamu senantiasa

Ini jelas berbeda dengan puisi “ Tragedi Sinka dan Winka yang penyusunanya secara zig zag .

b. Kata dan diksi

Dalam puisi ini sanusi pane memilih kata-kata yang yang tepat. Seperti apa yang dia katakan bahwa kata itu adalah pengertian itu sendiri tidak harus bermakna lain. Sehingga dalam puisinya ini hanya ada makna denotasi.

Dalam puisi ini kata-kata yang digunakan sanusi adalah akata-kata yang bisa digunakan dalam bahasa sehari-hari. Tetapi dalam penyusunannya sanusi membolak-balik kata dengan tujuan memperindah puisi dan menimbulkan efek seni .

c. Bahasa Kiasan dan Bahasa Retorik

Rima dan Persajakn seperti halnya puisi lama pemilihan bahasa kiasan memang sangat diperlukan untuk memperindah kata-katanya sehingga makna yang diberikan bisa lebih kaya dan mendalam. Dalam puisi ini kata –kata yang digunakan adalah kata yang sederhana sekali membaca saja pembaca sudah mengerti apa yang dimaksudkan oleh pengarang. Sajak dalm puisi ini adalah aaaa dan abab.

d. Imaji

Mungkin citraan yang muncul adalah citraan yang berhubungan dengan

Penglihatan

Dan hanya dibaca sepintas lalu

Yang kan mempermainkan mata

e. Tema dan Amanat

· Tema : mungkin tentang keiklasan seorang penyair dalam menciptakan sebuah karya

· Amanat : sebagai seorang penyair kita harus selalu tulus dalam menciptakan karya dan puisi seperti pada puisi diatas,bahwa ketulusan itu perlu .

Seperti matahari mencintai bumi

Memberi sinar selama-lamanya

Tidak meminta sesuatu kembali

Harus cintamu senantiasa

f. Makna Puisi

Secara keseluruhan makma puisi tersebut adalah sebagai seorang pengarang kita hendaknaya menciptakan sesuatu dengan pemikiran terlebih dahulu jangan hanya sekedar keluar dari mulut dan bukan keluar dari hati . kita hendaknya belajar pada filosofi matahari yang senantiasa menyinari bumi tanpa mengharap imbalan .

B. Pembahasan

1. Puisi “ Bukan Beta Bijak Berperi”

Bentuk puisi di atas berupa puisi yang berselang – seling, baik jumlah kata maupun suku katanya. Akan tetapi, jumlah suku kata beserta irama dan pola persajakannya masih mudah mengingatkan kita pada bentuk pantun dan syair, dua bentuk yang justru hendak dibuang dan dihindari oleh penyair.

Rustam Effendi sebagai penyair Pujangga Baru, telah mengenal konvensi syair dan pantun. Namun, dalam “Bukan Beta Bikaj Berperi” ia berniat membuat puisi baru setelah mengenal puisi Eropa. Sehingga tidak heran bila ia menentang aturan dan konvensi pantun dan syair, baik mengenai konvensi bentuk formal maupun konvensi isi pikiran yang dikandungnya.

Penyimpangan konvensi itu nampak pada puisi di atas. Menurut bentuknya, sajak “Bukan Beta Bijak Berperi” itu adalah syair, sebab kelima bait berisi pernyataan yang bersambungan. Namun, sajak dalam puisi itu berpola a b a b, bukan a a a a. Sehingga, pola sajak yang tercipta akhirnya adalah pola sajak pantun. Isi sajak itu berupa pernyataan perasaan pribadi, pernyataan perasaan dan pikiran si aku. Hal seperti ini tidak dikenal dalam puisi Melayu. Akan tetapi, pola – pola bentuk yang teratur, periodisitas sajak Rustam Effendi itu sesungguhnya masih merupakan konvensi sajak Melayu atau tradisi dajak Melayu : tiap baris terdiri atas dua periodus, tiap periodus terdiri atas dua kata. Buktinya :

- pantun : Pulau Pandan / jauh di tengah

- syair : Lalulah berjalan / Ken Tambunan

- Rustam Effendi : Bukan beta / bijak berperi.

Jadi, sajak Rustam Effendi merupakan transformasi puisi Melayu dengan tradisi baru.

Meskipun menyimpang dari konvensi pantun dan syair, namun keteraturan konvensi pembaitan yang teratur dan kesimetrisan pembagian baris yang tetap, serta penggunaan sajak akhir masih tetap diteruskan.

Dalam “Bukan Beta Bijak Berperi” Rustam berusaha menciptakan kebaruan dengan tidak meninggalkan sama sekali konvensi sajak yang sudah ada.dalam puisi itu ia meneruskan ciri – ciri yang merupakan konvensi sajak – sajak sebelumnya sekaligus menentang konsep – konsep estetik sajak – sajak sebelumnya. Dalam hal ini terjadi ketegangan antara pembaharuan dan konvensi serta antara yang lama dengan yang baru. Di satu pihak ia meneruskan konvensi yang sudah ada dan di pihak lain ia menyimpangi konvensinya.

Dalam sajak itu korespondensi berupa pembaitan, tiap bait terdiri dari 4 baris dan tiap baris terdiri dari dua satuan sintaksis (kelompok kata atau gatra) dari bait pertama sampai bait terakhir. Korespondensi dari awal bait, baris pertama sampai ke akhir bait,baris terakhir : susunannya serupa.

Periodotas sajak tersebut juga dari awal baris bait pertama sampai ke akhir baris bait terakhir, yaitu tiap baris terdiri dari dua periodus, dan tiap periodus terdiri dari dua kata. Jadi, dalam asjak ini yang berkorespondensi adalah perioditasnya dan juga jumlah baris pada tiap baitnya berulang : 4-4 (Pradopo, 2005 :8, 9).

Dapat kita simpulkan pula bahwa selain adanya kecenderungan penggunaan irama atau ritma yang berdasarkan kata atau suku kata tersebut, ada ciri lain pada puisi – puisi Rustam Effendi, yaitu :

  1. unsur persajakan atau rima sebagian besar berupa aliterasi dan asonansi
  2. banyak perbendaharaan kata yang diambil dari bahasa Minang
  3. dalam menyingkat kata tampak seenaknya saja, seperti : didengungkan ___ dengungan ; kemudahan ___ madahan; menjadi nekat ___ menekat; mengalun ___ alun, dsb. dengan tujuan hendak memenuhi jumlah suku kata tertentu atau berhubungan dengan pola persajakan atau rima.

2. Puisi “ sajak “

Puisi yang berjudul “ sajak “ ini adalah puisi karya sanusi pane yang unik dan cenderung memilki gaya baru dalam penuli9san puisi IndonesiaDalam puisi ini sanusi pane memilih kata-kata yang yang tepat. Seperti apa yang dia katakan bahwa kata itu adalah pengertian itu sendiri tidak harus bermakna lain. Sehingga dalam puisinya ini hanya ada makna denotasi.

Dalam puisi ini kata-kata yang digunakan sanusi adalah akata-kata yang bisa digunakan dalam bahasa sehari-hari. Tetapi dalam penyusunannya sanusi membolak-balik kata dengan tujuan memperindah puisi dan menimbulkan efek seni .

Rima dan Persajakn seperti halnya puisi lama pemilihan bahasa kiasan memang sangat diperlukan untuk memperindah kata-katanya sehingga makna yang diberikan bisa lebih kaya dan mendalam. Dalam puisi ini kata –kata yang digunakan adalah kata yang sederhana sekali membaca saja pembaca sudah mengerti apa yang dimaksudkan oleh pengarang. Sajak dalm puisi ini adalah aaaa dan abab. Secara keseluruhan makma puisi tersebut adalah sebagai seorang pengarang kita hendaknaya menciptakan sesuatu dengan pemikiran terlebih dahulu jangan hanya sekedar keluar dari mulut dan bukan keluar dari hati . kita hendaknya belajar pada filosofi matahari yang senantiasa menyinari bumi tanpa mengharap imbalan .

C. Hasil perbandingan

BUKAN BETA BIJAK BERPERI

Rustam Effendi

Bukan beta bijak berperi

Pandai mengubah madahan syair

Bukan beta budak negeri

Musti menurut undangan mair

Syarat sarat saya mungkiri

Untai rangkaian seloka lama

Beta buang beta singkiri

Sebab laguku menurut sukma

Susah sungguh saya sampaikan

Degup-degupan di dalam kalu

Lemah laun lagu dengungan

Matnya digamat rasain waktu

Sering saya susah sesaat

Sebab madahan tidak nak datang

Sering saya sulit mendekat

Sebab terkurung lukisan memang

Bukan beta bijak berlagu

Dapat melemah bingkaian pantun

Bukan beta berbuat baru

Hanya mendengar bisikan alun

SAJAK

Sanusi Pane

O, bukanlah dalam kata yang rancak

Kata yang pelik kebagusan sajak

O pujangga buanglah segala kata

Yang kan mempermainkan mata

Dan hanya dibaca sepintas lalu

Karena tak keluar dari sukma

Seperti matahari mencintai bumi

Memberi sinar selama-lamanya

Tidak meminta sesuatu kembali

Harus cintamu senantiasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar